Ratapan Mahasiswa Tingkat Akhir

Sudah hampir empat tahun judul mahasiswa saya bawa ke mana-mana. Tak terasa, kini saatnya melangkah ke proses pamungkas: skripsi *ngek. Serasa sudah bosan kampus FEB menampung mahasiswa setengah menganggur ini.

Selama kuliah, saya bukanlah mahasiswa outstanding. Biasa saja, dengan IP timbul tenggelam. Istilahnya,dateng gak bikin genep, pergi gak bikin ganjil. Terkesan ironis memang,tapi inilah kenyataan yang sedang saya rasakan kini.

Memang beginilah hidup, makin dewasa level berpikir kita, makin ingin kita melakukan sesuatu di perjalanan umur yang tak mau tahu.Umur-umur segini memang nanggung dan penuh dengan proses pendewasaan cara berpikir. Dulu, awal kuliah mind set masih muluk2: IP tinggi, aktif organisasi, lulus cumlaude, trus ending-nya adalah jadi akuntan sukses. Tapi setelah menjalaninya sendiri selama hampir 4 tahun yang diwarnai pencapaian,kegagalan, dan kenyataan, perlahan semua itu membawa saya keluar dari mind set awal tadi. Kini, semua harus dipikirkan secara realistis dengan mempertimbangkan upaya dan hasil. Apa yang aku lakukan akan berdampak pada yang kuperoleh kini dan masa mendatang.

Hal itu terpikir begitu saja setelah beberapa minggu belakangan saya sedang intens menggali dan mengenal seorang tokoh bernama Soe Hok Gie. Gie,tokoh mahasiswa pendobrak tirani orde lama yang dikenal lewat pemikiran, tulisan, dan testimoni orang-orang yang mengenal dia. Saya melihat Gie, adalah mahasiswa seperti saya. Dalam dirinya, saya menemukan sosok seorang mahasiswa yang ideal. Membaca,mencari jawaban dari kegelisahan akan kondisi bangsanya, berdiskusi,demonstrasi, tapi masih berpijak pada hakekatnya sebagai seorang mahasiswa. Di salah satu tulisannya dalam buku hariannya, dia menulis, dia juga tenggelam dalam skripsinya, yang saking muaknya dia bilang skripsinya seperti tai di atas meja.hahaha. Gie memang sangat menginspirasi, termasuk soal motivasi mengerjakan skripsi. U know what, skripsi now looks like a skripsh*t. Such a great nightmare.Armageddon.

Well, skripsi tu kayak tuntutan pertanggungjawaban dan pertanggungjelasan bagi saya sebagai seorang mahasiswa ekonomi akuntansi. Padahal,as u know, masuk jurusan akuntansi sudah cukup menjadi kutukan bagi saya. Harus diakui, akuntansi seperti …ah entahlah..pokonya berlawanan dengan jiwa saya. Tahukan rasanya seperti apa…Ini tak lebih sebuah keterlanjuran. Terlanjur masuk, terlanjur menghabiskan 4 tahun bergulat dengan mozaik-mozaik konsep yang tak tahu apa bentuk utuhnya.Khaaah…Oleh karena itu,semua ini harus diselesaikan secepat mungkin.Harus ada pembuktian dan pencapaian tengah tahun ini. Sarjana ekonomi di depan mata dan harus diraih as soon as possible.


A Brave History

Kata Mbah Lao-Tse,“Perjalanan jauh itu dimulai dari satu langkah kecil.” Kalo dipikir-pikir ada benernya juga dan emang bener. Semua itu gak ada yang instan. Semua itu butuh proses dan proses pertama dan paling penting adalah keberanian kita untuk memulai sesuatu. Kita gak bakal bisa ngukur kemampuan kita bahkan menunjukkan eksistensi kita sebagai manusia kalo kita gak berani memulai dan mencoba sesuatu.

Tapi sadar gak siy, betapa sulitnya meyakinkan diri kita, kalo keinginan kita tu gak ketinggian ato kasarnya, berani-beraninya ngimpi di siang bolong!? Menyakinkan kita semua tu equal,sejajar, sama. Pernah kan kita berkhayal jadi kayak Dian Sastro, ato bahkan Cuma bisa sirik ama kesuksesan yang udah berhasil diraih Dian Sastro? Ngerasa looser sendiri dan gak bakal bisa kayak dia.

Hmmm…sebenernya yang buat kita keliatan beda adalah siapa yang berani memulainya lebih dulu. Ibarat lomba lari, ada yang begitu denger bunyi peluit ato apa deh, pokoknya tanda buat mulai lomba, dia langsung melesat, fokus buat bisa finis pertama. Tapi ada juga yang pake mikirnya kelamaan, walhasil dia ketinggalan dan terlihat cuma jadi pengikut. Begitu pula di kasus sirik-sirikan ama Mbak Dian Sastro, kita tu kudu mikir, jadi seorang Dian seperti sekarang tu pasti gak instan. Karirnya pasti dah dimulai sjak dini, dari dia masih amat belia mungkin, padahal di saat yang sama mungkin kita masih jadi anak yang manja, nyante, dan belom mikir ampe segitu karena kita berada di zona nyaman yang pada akhirnya membuat kita lupa untuk mengembangkan diri kita. Itulah awal kekalahan kita. Terlambat memulai.

Well, kuncinya ya itu tadi; fokus dari awal. Dan tentu aja, setelah berani memulai, kita konsisten. Kita mulai perjalanan panjang yang udah kita awali dengan satu langkah kecil itu tadi. Kalo ada krikil-krikil, dari yang cuma segede upil sampe yang udah segede bola tenis, kita singkirin, kita hadepin. Itu risiko dan kita gak bisa ngehindar. Yaaa sebenernya ada siy cara buat ngehindar, yaitu kita udah siap-siap dari awal bakal adanya hal-hal yang tidak diinginkan. Istilah ekonominya tu adanya manajemen risiko, dimana di sini otak kita diuji gimana cara meminimalisir risiko yang bakal dihadapi.

Jadi, memulai sesuatu tu gak cuma modal nekat aja, tapi juga butuh pertimbangan yang matang. Kita pikirin di saat orang lain bahkan gak kepikiran hal itu. Jadi saat kita akan memulai sesuatu, kita udah siap. Dan kita siap buat jadi pemenang. Kita akan menyelesaikan perjalanan panjang langkah-langkah kecil kita ini dengan mantap. JUST DO IT, right?!