Risau


Oleh: Dayang Aprillia Suci

Semua hanya lelucon antara tertindas dan penindas

Dan aku, kami dan serpih-serpih golongan tanpa daya

Setiap hari kuhabiskan cintaku untuk merupa

Bersama peluh yang menari

Mengorek,mengais-ngais setetes milikku

Tidakkah pembesar-besar itu tahu

Nafasku adalah hidupnya

Hidup bangsa ini

Tirani itu telah terbutakan

Siapa minoritas siapa mayoritas

Kupertanyakan

Apakah aku hanya sesuatu yang sekali berarti habis itu mati?

Di ujung senja, akhirnya aku wariskan dua baris pesan
menghempas pulang aku pada kenyataan

Tirani dan aku

Betapa ingin kubaca puisi ini di wajahmu

Wajah terbutakan

Labels: 0 comments | edit post

Pagi Harapan


Berangkatlah aku pada romansa

Termaknainya udara segar di pagi hari
dan segala yang akan terjadi sehari ini.

Kaca-kaca hati tergetar..inikah arti
teka-teki yang selalu dibicarakan otak dan kalbu.

Apa kata mereka?!

Inikah bagian dari rencana kudeta mereka
atas segumpal daging ini?

Pergilah kemana hatimu membawamu…

Tidak!

Renungkan, pikirkan apa yang baik dan
jahat

Tidak bisa begitu juga!!

Demi segumpal darah yang tertindas

Untuk oportunis penindas!!

Ingin kuhujam kau dengan realita ini

Bahwa aku hanya ingin berdamai dengan
satu dua dan tiga

Dengan jasad, hati dan akalku!!

Labels: 0 comments | edit post

THE SWEETEST


Hujan rintik-rintik mengisi hari yang mulai gelap ini. Jalanan tampak lengang, hanya satu dua kendaraan yang melintas, suasana mulai sepi. Begitu pula suasana taman kota ini, hampa, tidak terlihat lagi keceriaan muka bocah-bocah di sana-sini. Tapi ada yang aneh, tampak seorang gadis kecil yang ditemani kakaknya sedang berjalan beriringan dengan membawa kardus berukuran sedang. Wajah gadis itu tampak sedih, tampak kehilangan.

“Sudahlah Dik, dia akan baik-baik saja,” kata kakak gadis kecil itu.

“Huu.., Mama jahat Kak,” kata gadis kecil itu sambil menangis tersedu.

Begitulah, kardus kecil ditinggal pergi oleh kakak beradik itu. Tergeletak sendiri, di samping sebuah bangku taman, dan hari benar-benar sudah menjadi malam.

***

Meoong…

Di sini gelap sekali. Berkali-kali aku menabrak sesuatu yang tampak seperti dinding. Entahlah, semua jadi gelap, padahal biasanya aku masih bisa melihat walau hanya dengan bantuan setitik sinar. Aku baru sadar kalau aku sendirian, pantas saja, meskipun aku telah berteriak memanggil Mama, Hitam, dan Loreng, tidak ada tanggapan. Sunyi, aku seperti menelan kembali suaraku sendiri.

Aku seperti amnesia, hanya sedikit saja yang dapat kuingat. Aku hanya ingat tadi sore, seperti biasa, Si Nana mengajakku bermain, mengejar bola kecil, dan bermain di dalam kardus. Dan setelah itu..ah entahlah, tiba-tiba aku sudah berada di ruang gelap ini dan aku mulai kedinginan.

***

Teet…! Bel pulang menggema ke seluruh penjuru sekolah. Anak- anak mulai memenuhi lorong sekolah, ada yang berlari tergesa dan ada pula yang berjalan dengan santai, tampak melepas lelah setelah seharian sekolah.

“Mi, Ami!” terdengar Sani berteriak memanggilku dari kejauhan.

“He eh, apaan sih San, bikin kaget aja!” jawabku dengan sedikit tergagap saking kagetnya.

“Hi hi, hari ini jadi kan kita pergi beli es krim di deket taman kota? Harga promosi lho!” tanya Sani menggebu-gebu.

“Ya iyalah! Yok cabut! Keburu abis,” jawabku dengan tak kalah semangat.

Es krim adalah cemilan favoritku, dan kebetulan sekali, hari ini ada toko es krim yang baru buka. Toko itu ada di dekat taman

kota

, sangat strategis. Kupikir hari pertama pastilah es krim akan dijual murah. Ya, harga promosi, itu yang kucari.

Menyusuri jalanan yang gersang telah membuatku gerah. Menurutku aneh, padahal kemarin gerimis dan awan berwarna kelabu, tapi lihat hari ini, matahari seperti pamer kekuatan, benar-benar berhasil memanggang badanku.

“Hmm…enak…, benar katamu Mi, kita benar-benar mujur hari ini, udah dapet es krim enak, murah lagi!” kata Sani sambil sibuk menjilati es krimnya yang mulai mencair.

“Benarkan…, eh ngomong-ngomong, udah lama kita nggak ke taman

kota

, makan es krim di

sana

aja yok! Ngadem gitu loh!” ajakku.

Taman

kota

, tempat penuh keceriaan. Anak-anak berlarian, bermain di bak pasir juga ayunan, sungguh pemandangan yang menyenangkan.

Taman

yang terletak di tengah

kota

yang sibuk ini memang menjanjikan kesejukan, dengan pohon-pohonnya yang rindang dan tentu saja

padang

rumput luas yang hijau, menbuatku senang berlama-lama di sini walau sekedar untuk melamun atau cari angin.

Kami mencari bangku taman yang kosong dan akhirnya berhasil kami temukan juga.

“Kalau siang taman ini rame banget ya!?” kataku.

“Ya, bagaimanapun ini adalah tempat yang tepat untuk orang-orang melepas lelah setelah seharian beraktivitas.” sahut Sani.

Gluduk! Dug! Gluduk! tiba-tiba aku mendengar suara aneh yang tampaknya berasal tak jauh dari sini. Sepertinya dari kardus yang berada di samping bangku yang kami duduki.

“Hey, apa itu?” tanyaku penasaran.

***

Meoong…

Sekarang tempat ini tidak lagi gelap, malah sangat terang benderang. Ternyata aku berada dalam kardus! Aku meronta, aku kelaparan. Kucoba untuk keluar dari kardus ini, tapi tidak bisa, aku tak sanggup membuka tutup kardus ini, hanya menimbulkan suara gludak gluduk saja.

Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki mendekatiku, aku harus waspada. Ternyata seorang gadis remaja berambut panjang bersama teman perempuannya. Mereka memakai seragam seperti yang sering dipakai oleh kakak si Nana, putih abu-abu. Aku tidak tahu mereka ngomong apa, bicara mereka cepat sekali. Sebenarnya aku mengerti sedikit bahasa manusia, tapi dengan catatan harus pelan-pelan. Dari sikap mereka aku tahu mereka, terutama gadis remaja berambut panjang itu, tampak senang melihatku, aku merasa sangat menggemaskan. Gadis berambut panjang itu mengeluarkanku dari kardus kemudian menggendongku dengan lembut. Tapi tidak demikian dengan temannya itu, dia tampak jijik melihatku dan berusaha menjaga jarak denganku.

Aku tidak tahu, apakah aku benar-benar pandai bergaul atau memang cepat akrab, tapi yang jelas aku tidak bisa berbuat banyak ketika gadis berambut panjang yang belakangan kutahu bernama Ami itu membawaku pergi meninggalkan taman kota yang masih ramai ini.

***

Akhirnya sampai juga aku di rumah. Aku sangat senang, kuletakkan kucing yang baru kutemukan itu di teras, kemudian dengan sedikit tergesa, kulepas sepatuku dan menghambur ke dalam rumah, kegirangan dan mencari Mama.

“Ma, liat deh sini. Ami bawa kejutan lho!” kataku sambil menghampiri mama yang sedang santai nonton TV.

“Apa tho Mi, kok pake teriak-teriak segala, memangnya kejutan apa?” tanya Mamaku terheran-heran.

Aku mengajak Mama ke teras untuk melihat kejutan yang kumaksud. Ternyata teriakanku juga telah membangunkan Mas Kiki yang sedang tidur siang, mukanya tertekuk layaknya orang yang barusan bangun tidur. Dia mengikuti aku dan Mama menuju teras.

“Ini nih…,” kataku seraya menghampiri kucing itu dan mengelusnya pelan.

“Ya ampun! Kucing lagi?! Kagak kapok apa punya kucing?! Baru mati kemaren, dah ketemu gantinya!” kata Mas Kiki mencak-mencak.

Kakakku yang satu ini memang tidak suka kucing. Hari-hari tenang yang dia lalui semenjak kucingku yang dulu mati tampaknya akan berakhir.

“O.. kucing, bagus begitu kok! Nggak keliatan penyakitan lagi! Yang penting dirawat baik-baik.” Kata Mamaku.

“Iya Ma, mmm…mau dikasih nama apa ya? Eh, gimana kalau Si Manis aja? Dia kan lucu banget…,” kataku.

“Heh, kenapa nggak sekalian aja dikasih nama Si Manis Jembatan Ancol?!

Kan

manis tu….,” kata Mas Kiki sinis sambil berlalu, masuk ke dalam rumah.

“Huh! Nyebelin banget! Jangan maen sama dia ya Manis, Mas Kiki tu jahat,” kataku kesal sambil terus mengelus Si Manis.

***

Meoong…

Namaku Manis? Tidak salah? Aku

kan

kucing jantan…Tapi sekali lagi aku tidak bisa berbuat banyak, toh lama-lama aku juga akan terbiasa. Sebenarnya, aku mengakui kalau aku memang kucing yang manis, buluku yang lembut, berwarna kelabu hampir putih, warna bulu yang indah dan jarang dimiliki oleh kucing lokal lainnya. Mataku yang hijau cemerlang dan ekorku yang panjang benar-benar menambah aura ketampananku. Tapi sekali lagi, aku adalah kucing jantan dan aku tidak begitu menyukai nama itu. Aku sedikit menyesalkan, kenapa Ami harus memberiku nama Manis? Membuatku kelihatan lemah dan banci. Ah! Ami benar-benar seenaknya dalam memberi nama, apakah dia tidak memperhatikan kesesuaian antara nama dengan penampilan fisik?!

Meoong…

Aku senang akhirnya punya rumah. Kulihat Ami tidak merawat hewan lain selain aku,itu berarti akulah penguasa tunggal di wilayah ini! Ami sangat sayang padaku. Dia begitu memperhatikanku. Bayangkan saja! Seminggu dua kali aku dimandikannya! Hal yang paling aku tidak suka. Biar tak berkutu, katanya sebagai dalih. Dia selalu memberiku makan tepat waktu. Pernah suatu ketika dia harus pulang sore, Ami meminta Mas Kiki untuk tidak lupa memberiku makan, tapi memang karena tabiat Mas Kiki ingin mencelakakan aku atau memang karena kecerobohannya, dia sampai lupa memberiku makan! Aku hampir mati kelaparan, Cuma minum air untuk menutupi rasa lapar, spai perutku kembung. Benar saja, ketika Ami pulang dan mendapati tempat makanku kosong dan masih bersih, belum tersentuh, Ami marah besar, dia berubah menjadi seperti monster, mencari Mas Kiki dan melabraknya! Dan setelah itu bisa ditebak, Ami membuaiku dengan kasih sayang, memberiku makan, membuatkanku susu hangat dan membelaiku dengan lembut sebagai tanda penyesalan. Aku sangat terharu dengan semua perlakuannya padaku.

***

Hari ini aku pulang sore lagi. Memang, belakangan ini aku sangat sibuk, sibuk dengan rapat-rapat koordinasi acara pentas seni yang bakalan diselenggarain di sekolah, juga kegiatan praktikum gono gini yang benar-benar menyita waktuku. Kata mama aku tampak lebih kurus, bukan karena diet tapi karena pikiranku yang sangat tersortir.

Aku mencemaskan Manis, sudah lama aku tidak bermain dengannya. Aku takut manis ditelantarkan oleh Mas Kiki, tidak dikasih makan dan tidak diajak bermain. Tapi bagaimana lagi, aku tidak bisa berbuat banyak selain mempercayakannya kepada Mas Kiki atau Mama.

Aku sangat lelah. Tidak jarang aku menolak ketika Manis mendekatiku, mengajakku bermain. Seperti saat ini, Manis mendekatiku, mengeong pelan kemudian tidur di pangkuanku. Kulihat dia tampak lebih kurus sepertiku. Apakah dia juga sepertiku yang kebanyakan pikiran? Kuelus dia pelan-pelan. Menurutku Manis adalah kucing yang tidak banyak menuntut. Dia memang manis dan penurut, seakan dia mengerti benar keadaanku saat ini.

***

Meoong…

Rumah ini sepi. Siang-siang begini hanya ada aku dan Mama Ami yang seperti biasa, sibuk dengan kegiatan rutinnya nonton TV, apalagi kalau bukan nonton telenovela. Aduh, aku sangat kesepian. Mama Ami cuek sekali padaku, padahal, aku pernah dengar kalau dia suka padaku, tetapi menurutku semua hanya omong kosong, tidak ada realisasi dari kata-katanya. Aku sudah berusaha make a move dengan mendekatinya, mengeong manja dan duduk di sebelahnya, seperti yang biasa aku lakukan pada Ami saat aku ingin disayang. Tapi tanggapan Mama Ami dingin dan cuek, benar-benar cuek.

Tidak tahukah orang-orang kalau kucing kesayangan mereka ini kelaparan? Jangankan Mama, Mas Kiki saja yang kulihat semakin menyukaiku, hanya memberiku makan bila ingat. Benar-benar menyabalkan, mereka seperti tidak mengerti kalau aku paling anti makan tikus. Bukannya tidak bisa menangkap, teatapi aku benar-benar jijik kalau harus memakannya, lebih baik aku minum air saja sepanjang hari.

Aku merasa menjadi kucing paling malang di dunia. Aku bosan bermain bola, mengejar bola yang kugerakkan sendiri, benar-benar membuatku tampak bodoh. Aku bingung mau bermain dengan siapa, aku tidak punya teman bermain. Di sekitar sini sangat jarang ada kucing. Jangankan kucing betina yang bisa kuajak kawin, kucing jantan yang kurus kering saja tidak ada. Nasibku benar-benar sial!

Aku berjalan gontai ke arah dapur, mau cari remah-remah roti. Tapi sia-sia, tidak ada. Apa boleh buat, aku harus belajar menangkap tikus. It’s a nightmare! Aku mulai mencarinya di sekitar dapur. Telinga kutegakkan, mata kubuka lebar-lebar. Aku harus konsentrasi. Ah, tidak ada tikus, entahlah harus kemana lagi aku mencarinya. Ternyata kegiatan ini lumayan membuatku lelah. Kupandangi seluruh penjuru dapur, siapa tahu ada sudut yang terlewatkan, tempat sembunyi tikus-tikus itu. Tapi..hey, apa itu? Benda berwarna berwarna coklat, kotak, tergeletak di sudut dapur. Aku seperti pernah melihat benda itu, tapi entah apa, aku lupa. Tunggu dulu, kuamati lagi, kudekati benda itu, kupandangi lagi. Oh My God! Seperti tersambar petir di siang bolong! Aku ingat sekarang, itu adalah sebuah kardus!

***

Hari ini begitu menyenangkan. Tugas-tugas akhirnya selesai juga, jadi aku bisa pulang lebih awal. Aku ingin membuat sedikit kejutan buat Manis. Aku ingin membelikannya mainan tikus-tikusan yang kulihat di toko kemarin. Dia pasti suka. Aku ingin segera melihat tingkahnya yang lucu ketika bermain tikus-tikusan itu.

“ Maniiiis….! Puus…liat ini, aku punya kejutan untukmu,” kataku dengan sedikit berteriak sambil berjalan masuk ke dalam rumah, mencari Manis.

Sepi, nggak ada jawaban. Kulihat Mama sedang santai nonton TV, aku menghampirinya.

“Ma..mana Manis? Kok nggak keliatan? Main kemana?” tanyaku penasaran.

“ Entahlah, tadi dia masih tiduran di samping Mama tu,” jawab Mama sambil sibuk mengganti channel TV.

Perasaanku tidak enak. Aku tidak puas dengan jawaban Mama. Aku mencoba mencari Manis di kamar tidur, kosong, tidak ada. Aku mulai panik. Kukerahkan Mama dan Mas Kiki untuk ikut mencari Manis. Kulihat dapur, nihil, tapi tiba-tiba..Dug! Aduh! Apa lagi ini?! Siapa yang meletakkan kardus di tengah jalan begini?! Sungguh ceroboh! Segera kusingkirkan kardus “tidak tahu diri” itu.

Aku hampir putus asa. Manis hilang! Kini aku tak tahu lagi harus mencrinya dimana. Tiba-tiba muncul rasa bersalah dalam hatiku. Aku memandang mainan tikus-tikusan yang baru kubeli tadi. Mungkin sudah terlambat untuk meminta maaf, aku sudah menelantarkanmu Manis…

***

Meoong…

Di sini dingin sekali, sangat berbeda dengan di rumah, hangat dan nyaman. Taman kota di malam hari, kini aku melihatnya lagi, tapi kini bukan karena dibuang, melainkan karena kehendakku sendiri, kuputuskan untuk kabur dari rumah. Kupikir ini adalah jalan yang terbaik, apalagi aku telah melihat kenyataannya,kenyataan bahwa aku sudah tidak diinginkan lagi.

Di sini sepi sekali, waktu yang tepat untuk berpikir. Aku jadi ingat segala yang terjadi, termasuk kejadian sore itu. Nana, majikanku yang baik. Dia sangat sayang padaku, tapi aku sangat nakal. Bayangkan saja! Tanpa sengaja aku memecahkan vas bunga kesayangan Mama Nana ketika aku berkejar-kejaran dengan Nana, Hitam, dan Loreng. Saat itu aku tak sadar mimpi buruk telah menantiku. Aku mendengar pertengkaran Nana dengan mamanya. Entahlah, aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Aku hanya tahu mereka berbicara dengan berteriak. Terakhir aku melihat raut sedih di wajah Nana. Nana menangis. Dia mengelusku pelan, kemudian mengajakku bermain. Hari ini agak berbeda, dia membawa kardus untuk bermain. Dia mengajakku bermain rumah-rumahan. Tapi semua jadi gelap, rupanya atap kardus ditutup. Kardus perlahan diangkat dan aku mulai tergoncang. Aku jadi pusing.

Hah! Tega sekali mereka! Mama Ami, Mas Kiki, Ami, semua sama saja. Mereka memang tidak sayang padaku. Mereka tidak menghiraukan aku, dan ketika bosan, mereka akan membeli kardus dan kemudian membuangku jauh-jauh. Betapa malangnya nasibku ini, tapi aku tidak akan menyesal telah pergi dari rumah Ami, setidaknya harga diriku tetap terjaga.

***

Sore ini gerimis. Aku termenung duduk di teras sambil menatap jalan di depan rumah yang ramai. Sudah dua minggu ini Manis kabur dari rumah. Aku sangat sedih, merasa kehilangan. Tapi entah kenapa, hati ini sedikit ringan, perasaanku berkata akan terjadi hal yang tidak terduga. Kuharap kejadian yang menyenangkan. Aku jadi bersemangat lagi. Ada firasat Manis akan pulang. Aku berkeliling di sekitar teras, kucari Manis sekali lagi. Aku tidak putus asa, kuambil payung, kubuka pagar dan keluar, mencoba mencari di pinggir jalan.

“Manis…! Manis…! Puuus…puus…,” panggilku.

Kucari dia di selokan, di halaman rumah tetangga. Ah! Tidak ada! Aku mulai putus asa. Kupandang jalanan yang basah. Pandanganku berhenti pada sosok seekor kucing di seberang jalan.

“Manis..?! Pus…?” panggilku.

***

Meoong…

Aku menggigil kedinginan dan benar-benar kelaparan. Dua minggu ini adalah waktu yang cukup buatku untuk berpikir, dan bisa kutarik kesimpulan bahwa aku benar-benar ingin pulang! Rasanya dua minggu cukup untuk membuat Ami jera dan tidak menelantarkan aku lagi. Lagipula aku ini kucing jantan dan aku bukan pengecut. Aku harus berani menghadapi masalah. Kenapa aku harus takut pada sebuah kardus? Toh, bila suatu saat nanti aku akhirnya benar-benar dibuang, setidaknya aku telah berjuang, berjuang menghadapi hidup ini. dan sekali lagi, aku bukan pengecut. Jadi kenapa aku musti melarikan diri?

Aku telah berada di seberang rumah Ami. hari ini gerimis, langit sangat mendung. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Ami. Gerbang rumah ditutup. Aku jadi sedikit goyah.Apakah aku memang harus pulang?

Hey, siapa itu?! Ami!! benar itu dia, tidak salah lagi. Aku senang sekali, aku sangat merindukannya. Dia keluar dari rumah dan tampak memakai payung, kulihat dia mengamati selokan, seperti orang ilang. Apakah dia mencariku?

Jalanan ramai sekali, bising! Kendaraan menghalangi pandanganku. Ami masihkah kau di sana? Hey! Dia melihat ke arahku. Dia tampak memfokuskan pandangannya dan berapa saat kemudian dia tampak kegirangan. Dia berteriak memanggilku dari seberang jalan.

“Maniiis..!”teriak Ami.

Aku sangat bahagia, ternyata Ami tidak lupa padaku. Dia benar-benar menyayangiku. Aku segera bergegas. Aku ingin segera menghampirinya dan menghambur ke pelukannya. O.. Ami aku sangat merindukanmu. Aku berlari menyeberangi jalan, berlari menghampiri Ami. Hatiku meluap-luap kegirangan saking senangnya. Namun tiba-tiba…

Ciiiiiiiiiit!! Dug!

“Maniiiiiis….!!!!” teriak Ami histeris.

Hey apa yang terjadi? Tubuhku jadi sangat ringan, seperti melayang, perlahan menjauh dari Ami dan seekor kucing kucing berwarna kelabu hampir putih yang terbujur kaku bersimbah darah.

The end

SEBUAH RETORIKA TENTANG PEREMPUAN FANA


Angin musim panas mulai berhembus hangat.Aku bersuka cita bila musim itu datang, membuatku bersemangat untuk menyusun rencana. Ya, rencana. Berjuta ide gila muncul diotakku. Mulai dari berwisata hingga keinginan untuk melahap buku-buku yang dulu hanya kupinjam sana sini dan kugeletakkan begitu saja hingga berdebu.

Betapa hidup yang menyenangkan,mungkin dianggap utopi bagi sebagian orang yang memperbudak diri mrka sendiri hingga tak bisa menikmati hidup ini. Betapa tidak, bisa kulihat langit biru tak berawan khas musim panas. Juga jalanan berdebu dan rumah bambu. Disinilah aku sekarang. Perempuan sederhana dengan caranya sendiri mencoba untuk menghargai tiap hirupan nafasnya.

….

Melangkah gontai seorang perempuan fana. Ia mulai merasa hanya barang second dan yang pasti, ia mulai jengah dengan segala macam lelucon sandiwara kehidupan. Permpuan itu tertawa kecil, geli. “Hanya beginikah akhirnya?” gumamya. Burung bangkai terbang rendah dan mulai mengincar mayat-mayat yang bertebar di sekitar si perempuan fana. Dengan sesekali dia memicingkan matanya ke arah raga kosong.

Kemarin, lelaki pertama dan terakhirnya pergi. Sebenarnya bukan itu hal utama yang menjadikan si perempuan fana bagai raga tak bernyawa. Tetapi itu hanya bagian dari lelucon yang seharian ini ditertawakannya. Ya, memang hubungan kita tidak baik. Hanya sebuah basa basi. Dan seharusnya memang berakhir begitu pula. Aku paham. Sangat paham.

Kemudian hari, keseharian si perempuan fana. Pikirannya sedang tidak fokus dan memang tidak ingin fokus. Manusia-manusia disekitarnya mencoba menintervensi dirinya. Mengeluarkan petisi-petisi keberatan akan eksistensi si perempuan fana. Hanya bisa menuntut. Perempuan fana terima.

Sudah seharian ini perempuan fana memberesi buku-buku yang berserak dan berdebu di kamarnya. Ada makalah-makalah tak berbobot, bacaan terlalu ringan, buku kuliah, dan dua buah jurnal. Diambilnya dua jurnal itu cepat-cepat, seakan memory otak ini sudah ingin dipulihkan dari amnesia. Ternyata bukan jurnal melainkan buku harian. Si perempuan fana tersenyum samar. Sebuah buku harian dari buku tulis biasa, tidak terbuat dari kertas mahal, tidak wangi, hanya sebuah buku tulis biasa yang mulai lusuh termakan waktu. Sekali lagi perempuan tersenyum samar, “sangat anak-anak dan jujur” batinnya.

Buku harian yang satu lagi pun tak jauh beda. Semua ditulis dengan rapi, ditulis dengan pena tinta hitam,biru atau merah. Apa yang ketika itu terpikirkan? Dunia telah berubah. Dahulu, perempuan fana dan pria pertama dan terakhirnya seakan memang telah ditakdirkan bersama. Dari love at the first sight hingga pertemuan kedua yang tak terduga.. Perempuan fana bahagia. Tak terpikirkan lagi ibu tiri kejam tak berperi, yang diyakininya hanyalah kisah yang bakal akan bisa jadi happily ever after antara dirinya dan pria pertama dan terakhirnya. Itu dahulu dan kini semua absurd.

Desember datang cepat saja. Lima hari lagi tahun depan. Hari-hari ini banyak orang bermain opera sabun. Mereka menangis, tertawa, dan berklimaks dengan perseteruan. Hanya manusia yang mengerti, lalu apa perempuan fana mengerti? Tidakkah dia juga berpijak di bumi dan pernah mngalaminya? Ya. Tetapi semua seakan hiperbolis, mencari sensasi belaka. Semua akan seperti roda, berputar kembali. Kembali menagis,tertawa, dan berklimaks prseteruan di tahun depan. perempuan fana beringsut meninggalkan perenungannya, naik panggung opera, turut bersama mereka. Tak kuasa.

….

”Fragile, hidupmu adalah kehidupanmu, hanya kau yang dapat menjalaninya.” kata seorang sahabat tempo hari.

Perempuan fana yang disebutnya fragile ini muak mendengar ceramah yang menggurui. Pun di buku-buku pembangun jiwa best seller yang sudah sering ia baca. Semua retoris dan sebatas wacana. Tidak ada yang memahaminya dan makin lama perempuan fana makin tak ambil pusing dengan orang-orang yang bawel itu. Tiap orang punya alam pikirnya sendiri, sebuah otoritas yang tidak bisa diganggu gugat!

Hujan mengiringi datangya bulan desember, musim panas yang indah berganti dengan udara dingin dan tanah basah. Perempuan tidak suka musim hujan. Tak tersentuh juga hatinya pada romantisme tetes-tetes hujan yang menyejukkan bumi. ”Ini bencana” pikirnya. Hujan adalah air mata. Pertanda datangnya air bah, longsor dan segala macam musibah bagi negerinya tercinta. Tak terbersit pun di pikirannya, kala hujan ia akan mengingat kekasih hati, menunggunya di bawah hujan hingga ia datang, seperti yang dilihatnya di bioskop tempo hari.

….

Malam-malam sepanjang perjalanan pulang. Perempuan fana melesakkan diri makin dalam di tempat duduknya. Ketakutan dan jauh dari tempat yang kini ia sebut rumah. Hidup adalah perjalanan dan pencarian rumah itu. Pencarian sejati akan kebenaran adanya. Akan sampai kapan?

Bus membawanya makin dekat menuju rumah. Perempuan fana lega.

Sejauh apapun kau berlari,berusaha melepaskan jati diri dan identitas berterima umum. Kau akan kembali. Pada rumah dan kenyamanan yang telah kau buat sebelumnya. Perempuan fana tak sabar menanti kembalinya musim panas yang dicintainya.

..

Perempuan fana tidaklah lemah dan cengeng. Perempuan fana hanyalah musim panas dan langit biru yang dia cintai. Kadang tertutup mendung atau pun berganti musim hujan di pertengahan. Tetapi ia akan kembali. Itu pasti.

FIN