HUJAN

..hujan itu suatu pertanda,

sebuah kerinduan.

manusia yang ingin menari dalam naungannya

dedaunan dengan nyanyian gemerisik antusias, bercerita tentangnya

juga memori tentang hujan dan peristiwa di antaranya.

hujan itu sama

suatu prisma untuk memori-memori lama.

Labels: 0 comments | edit post

BUKAN MONOLOG


dalam kesendirian,tak berarti dia kesepian

sepanjang dialog itu terus ada

antara dia dan dirinya

antara dia dan cuaca

antara dia dan cinta

ini bukan sebuah monolog,melainkan sebuah perbincangan hangat

di antara sepi-sepi

percayalah, tak ada yang seintim ini.

bukan dengan seorang hipokrit

bukan dengan wajah-wajah palsu yang terlihat pahit.




foto:google

ASPEK BAHASA


..bahasa mahasiswa itu harus melangit, bukan bukunya yang disuruh membumi

Selama ini, saya memandang bahasa adalah sesuatu yang alamiah yang kita dapat rambu-rambunya ketika mendapat pelajaran atau mata kuliah bahasa Indonesia ketika saya sekolah maupun kuliah, tidak lebih. Tidak ada perhatian khusus yang coba saya berikan untuk mendalami Bahasa Indonesia karena saya pikir, apalagi ketika memutuskan untuk menempuh kuliah di fakultas bernama ekonomi, bahasa Indonesia yang mendalam ya akan dipelajari mendalam bila kita kuliah di jurusan Sastra Indonesia.

Betapa picik dan skeptisnya pikiran itu.Sampai suatu hari saya membaca sebuah artikel tulisan salah satu dosen favorit saya,Mr.SWD terkait aspek bahasa. Sama seperti saat membaca sebuah buku baru, awal membaca jurnal tersebut, saya berusaha membuka hati dan pikiran untuk menerima gagasan-gagasan baru. Benar saja, gagasan-gagasan dalam jurnal ini telah berhasil mengobrak-abrik pakem pikiran saya terkait bahasa selama ini. Entah mengapa, ketika dalam artikel ini ada ungkapan Monkey see monkey do, saya merasa tersinggung. Bukan soal monkey-nya, melainkan lebih ke maksud dari ungkapan itu. Selama ini ketika menulis artikel, paper atau apapun kegiatan kebahasaan, saya merasa lebih mengedepankan selera bahasa daripada penalaran bahasa. Istilahnya, yang penting tahu maksudnya. Tidak jarang saya merasa lebih nyaman menggunakan istilah asing untuk mengekspresikan gagasan. Lebih parahnya lagi, ketika saya dulu menjabat sebagai sebagai Pemimpin Redaksi di salah satu Lembaga Kemahasiswaan di kampus FEB, saya masih menggunakan paham ini. Sebagai contoh, dalam kegiatan edit, saya tidak begitu menghiraukan aspek kebahasaan- lebih mementingkan selera daripada nalar- dari artikel yang saya edit. Walhasil, proses edit pun hanya sebatas isi artikel, kebakuan bahasa dalam lingkup terbatas, dan tanda baca. Bila sudah begini, saya menjadi merasa bersalah. Itu sama saja media yang saya gawangi memiliki andil dalam memperparah kualitas bahasa para pembacanya.Itu dalam bidang jurnalistik, bagaimana dalam bidang ilmu?

Ada kata-kata Pak SWD yang sangat saya resapi, yaitu bahwa bahasa mahasiswa itu harus melangit, bukan bukunya yang disuruh membumi. Ya memang itulah yang seharusnya dan saya baru menyadarinya di akhir-akhir tahun kuliah saya ini. Masih sangat jelas dalam ingatan saya, betapa dulu saya tidak habis pikir mengapa buku yang saya baca, terutama buku berbahasa asing, sangat sulit dipahami dan ragam bahasanya kadang asing di telinga. Ingin rasanya memakan buku itu agar cepat paham. Sejujurnya, hal itu menghambat saya dalam memaksimalkan pemahaman saya tentang mata kuliah itu secara kolektif. Saya benar-benar tidak menikmati prosses belajar saya karenanya. Ingin rasanya membaca buku itu seenak makan coklat,atau istilahnya lebih membumi. Akan tetapi, untungnya sebelum berlarut-larut, kata-kata Mr.SWD tadi menyadarkan saya. Saya mulai bisa berdamai dengan keadaan.

Secara pribadi, saya kagum pada perkembangan karya sastra. Dalam sastra,bahasa dan kepenulisan itu lebih untuk kepuasan batin. Keragaman dalam penggunaan kosakata merupakan suatu kepuasan bagi seorang penulis. Suatu kebanggan bila bisa menyampaikan gagasan dalam kata atau bahasa yang berkualitas dan tidak biasa. Seharusnya, dalam dunia keilmuan, bahasa juga bisa mendapat tempat seistimewa dalam sastra karena selain untuk komunikasi, ada kualitas, gengsi, dan kebanggaan dalam membawakannya.

Terakhir, saya sepakat, dengan ungkapan bahwa the public has the final taste. Akan tetapi,saya yakin selera masyarakat dapat diarahkan menuju ke selera bahasa yang tinggi bila mereka ditawari alternatif bahasa yang baik dan benar.

Favorites quotes from 500 days of summer movie



Most days of the year are unremarkable. They begin, and they end, with no lasting memories made in between. Most days have no impact on the course of a life.

Tom and Summer conversation

Tom: Look, we don't have to put a label on it. That's fine. I get it. But, you know, I just... I need some consistency.
Summer: I know.
Tom: I need to know that you're not gonna wake up in the morning and feel differently.
Summer: And I can't give you that. Nobody can.

….

Summer: I woke up one morning and I just knew.
Tom: Knew what?
Summer: What I was never sure of with you.

….

Summer: Well, you know, I guess it's 'cause I was sitting in a deli and reading Dorian Gray and a guy comes up to me and asks me about it and... now he's my husband.
Tom: Yeah. And... so?
Summer: So, what if I'd gone to the movies? What if I had gone somewhere else for lunch? What if I'd gotten there 10 minutes later? It was - it was meant to be. And... I just kept thinking... Tom was right.
Tom: No.
Summer: Yeah, I did.
[laughs]
Summer: I did. It just wasn't me that you were right about.

Tom’s Quote

Tom: This is lies. We are liars. Think about it. Why do people buy cards? It's not because they want to say how they feel. People buy cards because they can't say they feel or are afraid to. And we provide the service that let's them off the hook. You know what? I say to hell with it. Let's level with America. Or at least let them speak for themselves. Right?

Tom: People don't realize this, but loneliness is underrated.

Labels: 4 comments | edit post