The Boat and the Water Ripples

(ilustrasi: google)

Apparently, we’re on the same boat.


We don’t know for how long we've been stranded here, stuck in the middle of the ocean listening to the sound of the waves and the ripples for days and days pushing us farther to forget about the sound of the car-horns in traffics and the noises that come out from the keyboard when we’re typing words. We even fail to recall the sound of the barking dog echoing in the Abbey Road.

For how long we don’t know.

Apparently, we’re on the same boat.
We sit on the side of the boat facing each other without saying a word. The silence revolves into a comfortable situation which we finally get used to. We feel content as it slowly fills the empty space and sits together with us.
We look into each other’s eyes and found nothing but only the reflection of ourselves. Yours in mine and mine in yours. Like seeing ourselves in front of a mirror.
There are only two of us now.

Why did they leave? Or maybe we’re the one forcing them to leave?
I don’t care for the answer. I’m not hoping for any answer. I don’t even want you to answer.
I put up my left hand with my palms open, reaching you. But you hesitate. Your right hand never meets my left.
You take a sigh and look into the lake. Please bring me to the coast, you said, while my left hand is still hanging silently in the air.

Then I paddle. The boat moves and the water ripples.


p.s: this is one of my faves words from [I like pretending I can save the world]

Anekdot tentang Jejak Pelangi




Cerita diawali dengan gagasan bahwa kita adalah bidadari.


Lelah menjadi manusia dan berharap segera dipanggil kembali oleh Raja Langit. Iya, kita akan kembali. Berjembatan pelangi yang mengakhiri jejak hujan sebagai jalan pulangnya.

Sungguh, ini hanyalah percakapan biasa saja yang perlahan menjadi serius. Seakan nampak nyata. Andai ini dan itu.

Layaknya legenda, kita ingin segera menemukan selendang kita masing-masing. O iya, punyaku warna hijau. Warna yang menggambarkan satu dari mejikuhibiniu setapak pelangi itu. Ya, dia jalanku.

gerimis bermata sembab


Kemudian seorang dari kita bertanya,”Kenapa kau ingin kembali, Kawan?”

“…aku tak menyangka di dunia ada ujian hidup bernama kkw.” jawab seorang lagi

Kita tertawa berderai, menertawai perbincangan absurd yang benar-benar melegakan ini.


Hey!berarti kita masih harus di bumi, karena selendang kita belum kembali.


Akhirnya, kita berpisah di persimpangan jalan, menuju ke rumah masing-masing.

“Beritahu aku kalau kau menemukannya!” seru seorang dari kita sambil melambaikan tangan.

Yang lain tersenyum mengiyakan. Ketika berjalan, semua termangu dengan obrolan barusan, yang masih bau hujan.



Prabumulih, setelah hujan.

Niat.


Kata Gie, orang yang beruntung adalah orang yang mati muda, dan yang lebih beruntung lagi adalah spirit yang tak pernah terlahirkan. Mungkin dia berpikir begitu karena banyak ketidakadilan yang ia lihat. Semacam keputusasaannya dalam memandang dunia ini. Akan tetapi, tak begitu bagiku. Hey Kawan, hidup ini sungguh luar biasa.

Pernahkah berpikir,betapa kita butuh banyak bersyukur. Bersyukur karena bisa melewati hari-hari yang tidak selalu sama. Ibarat langit, awan yang bernaung di bawahnya tak pernah sama. Kadang tebal kadang tipis saja. Kadang dengan hal kecil sederhana, seperti melihat orang berbincang ringan atau mengamati teduhnya bumi setelah turun hujan. Ya,kebahagian kecil saja sudah membuatku bersyukur. Tersenyum, dan percaya there's no perfect life.

"Ketidaksempurnaanlah yang membuat kita menjadi manusia", kata orang.

Hal ini yang menjadi renunganku beberapa hari belakangan.

Hey, Tuhan itu adil. Dia menguji hambanya, menempanya dengan cobaan agar hambanya meraih sesuatu yang indah pada akhirnya. Itulah mengapa, saya selalu penasaran dengan hari esok. Dengan segala yang Dia rencanakan untukku.

Yang perlu dilakukan adalah rasakan keberadaan-Nya.

Jadi, bersemangatlah!Karena itulah cara menguatkan dirimu sendiri. Mengingatkanmu untuk berdiri, membereskan pikiran-pikiran yang mulai berantakan dan bergegas. Berlari. =)




photo:google

Sejenak Saja

ngojek dulu ah...
(illustrasi:google)

Ngojek di Prabumulih itu sangat menyenangkan. Selain murah,kadang rute yang diambil si bapak tukang ojek juga sangat unpredictable. Kayak pengalamanku pas jalan2 ke kota Prabumulih hari Sabtu kemaren.


Jadi, ceritanya kemaren kan HUT kota Prabumulih. Untuk memeriahkannya, kayaknya seluruh warga kota kompak ngadain karnaval. Mulai dari anak esde sampe instansi pemerintah tumpah ruah eksis di jalanan utama Prabumulih. Meriah. Ada mobil dihias-hias,drumband,dan orang-orang jalan baris pake kostum bling-bling norak. Macet dimana-mana. Pokoknya hidup eksistensi! *apadeh

Apesnya, rute dimulai dari lapangan bola kompleks pertamina dan berakhir di Prabujaya (entah dimana itu) padahal hari itu,saya berencana mencicipi menu yang agak beda dari hari-hari biasa yang notabene hanya seputaran nasi bungkus dalam kotak (nah lo bingung nggak tuh). Taraaa…ialah es teller 77 yang akhirnya jadi idaman.

Akhirnya setelah berembug sama anak-anak rumah 41,di siang hari yang ngentang-ngentang sekitar jam 1-an, kejadian juga pergi memenuhi hasrat yang membuncah. FYI,untuk urusan transport, di sini emang jarang. Apalagi di dalam kompleks. Satu-satunya transport andalan ya naik ojek. Murah. Dari komples ke pasar kota Prabumulih yang jaraknya sekitar 4 kilo Cuma 5rb perak. Gak pake macet. Sebenarnya bisa dapet 4rb juga sih, tapi nggak tega.

jadikan tukang ojek sebagai kawan. LOL

(illustrasi: google)


Well,entah gimana ceritanya,mungkin ojek di sini belom ada standardisasi kali ya. I mean,dari segi jenis motornya. Bayangin aja, ada motor bebek yang baru kinyis-kinyis sampe yang bobrok tinggal nunggu ajal aja ada. Tentu saja itu berpengaruh pada pilihan konsumen dong ya (gaya bahasa lo day!)

Singkat cerita, pulang dari es teller 77,mungkin lagi nasib kurang beruntung, saya kedapetan jenis ojek yang terakhir kesebut. Demm.. mana muka tukang ojeknya mendukung banget. Item,lusuh dan memelas. *glek


Long and winding road

Sepanjang perjalanan,kepalaku isis, tak terlindung helm, secara pas minta helm ke bapaknya, dia dengan nyantenya nyodorin helm ciduk putih yang well,u know..berapa kepala berketombe pernah ditangkringin olehnya.

Nah seperti yang kuceritain di awal tulisan ini, hari ini Prabumulih punya gawe. MACET sama dengan gak bisa lewat. Tukang ojeknya denga heroik nawarin lewat jalan alternatif. Ya udah, karena belom paham jalanan sini,maka saya pasrah aja. “Oke deh,Pak!”

..i’ll go wherever you will go

Ternyata oh ternyata jalan yang dimaksud bapaknya beneran alternative.Gak mainstream banget. Lewat jalanan perumahan..blusukan. Tembusnya tau-tau di bawah jembatan, trus mlipir lewat sawah..amboi sungguh aduhai pula jalannya. Banyak banget jeglongan.

Saat itu, entah kenapa, alih-alih bĂȘte ato takut, tiba2 saja hati ini ngerasa free..seneng. Berasa the great escape! Merasakan dalam-dalam angin yang melambai-lambaikan jilbab ijoku..membiarkan wajah terpapar sinar matahri yang gak permisi..dan motor tua si bapak tukang ojek yang sewaktu-waktu bisa saja onderdilnya jatoh di tengah-tangah perjalanan sama sekali tak kupedulikan.

Mungkin kalo di suruh mengulangi rute yang barusan terlewat,saya bakalan amnesia..tapi rekaman2 apa yang barusan kulihat benar-benar luar biasa dan tidak akan terlupakan. Untuk sejenak, aku merasa relaks, tertawa, dan berimanjinasi tentang soundtrack yang pas untuk moment tersebut: sugartown-zooey deschannel. =)

I got some troubles but they won't last
I'm gonna lay right down here in the grass
And pretty soon all my troubles will pass
'cause I'm in shoo-shoo-shoo, shoo-shoo-shoo
Shoo-shoo, shoo-shoo, shoo-shoo Sugar Town


Mogok!

Tapi acara tur murah ini sempet berakhir mimpi buruk pas tiba-tiba motor mogok di tengah jalan!can u imagine? Di middle of nowhere, just me and bapak tukang ojek -Mending juga sama Yong Hwa *ngarep. Pikiranku saat itu udah mulai liar, tentang this and that, pokoknya lagi berpikir keras tentang ending yang enak. Gak seru dong masak ya kudu ndorong sampe kompleks. Hoho..bisa-bisa masuk koran lokal Prabumulih Post ntar *kalem Well,anyway, Thanks God ternyata bayangan itu gak jadi kenyataan. *fiuh ternyata bensin cumin kering aja alias abis. Untungnya lagi, gak jauh dari tenpat mogok itu ada depot bensin literan. Alhamdulillah..

Sepanjang perjalanan si Pak Ojek cerita ini itu..sepertinya saya butuh subtitle untuk memahami bahasa Palembang-nya yang kental. Puyeng bener,sumpah. Seselingan yang bisa saya pahami, dia kayaknya cerita tentang jalanan yang rusak,tentang karnaval..emm..yang lain kurang paham.

Tak lama kemudian, tur singkat ini berakhir, sampai juga akhirnya di mess. Yang bikin trenyuh adalah,meski jalan muter-muter, tarifnya tetap sama! Sebagai ungkapan terimaksih karena udah ngasi perjalanan yang menyenangkan, kuberi tips buat si bapak. Wajahnya yang legam karna matahari itu tersenyum. Entah kenapa, perasaan ini jadi biru. Jadi membayangkan, pasti hidupnya berat..untuk menghidupi anak istrinya.

“terimakasih, Pak!” seruku sambil berjalan menuju teras rumah.

..terimaksih atas pengalaman yang seru dan berharga ini. =)

Labels: 2 comments | edit post

Welcome to The Jungle

lonely road

Ibarat terdampar,maka saya sekarang sedang terdampar di bumi antah berantah. Setelah 2 bulan kemarin berasa hidup di sangkar emas, sekarang berasa dibuang ke tanah afrika. Hidup kembali sederhana,tanpa hiruk pikuk manusia dan keribetannya. Ya, di sini, di Prabumulih. Mungkin, apabila saya diminta menjelaskan dimana letak geografis tempat itu,maka yang bisa saya jelaskan adalah sebuah kompleks pertamina di sumatera selatan,3 jam dari pusat kota Palembang.


Perlu sedikit off road untuk mencapai tempat ini,walau jalannya bisa dibilang cukup bagus. Tapi sepanjang perjalan there’s nothing to see, kecuali rawa,debu beterbangan di udara dan truk2 gede. Kering, Jendral! Begitu sampai di kawasan ini,sebenarnya tidak begitu sepi. Semacam kota kecil dengan kegiatan eknomi yang menggeliat. Jalan besar mulus dengan toko2 di kiri kanannya.mirip sekali dengan jalanan menuju semarang. Hmmm…itulah prabumulih. Saya pun masih ingin mengenalnya lebih dalam.

O ya, di sini, rumah2 penduduknya kebanyakan masih tradisional, kayak rumah panggung gitu,bahannya didominasi kayu. Ada yang standar saja bentuknya, tapi ada juga yang mewah bak bungalow. Pemandangan yang menyenangkan. Tapi itu hanya sebagian sumatera saja, tapi sumatera yang sesungguhnya menurut saya adalah pemandangan saat saya berkunjung ke Field pertamina di Pendopo.

Kemana…kemana..

Jalanan menuju pendopo lebih menantang. Sebagian besar belum beraspal dan sangat terjal. Di beberapa titik jalannya sempit,mungkin Cuma muat untuk satu kendaraan. O ya, bicara tentang kendaraan, terjawab sudah rasa penasaran saya,mengapa mobil-mobil di sini kebanyakan mobil off road,beroda besar, dan tampak tangguh. Rupanya memang medan jalannya menuntut mobil yang tahan banting, bukan city car yang imut warna-warni. Saat pertama kali kemari bahkan saya rada takjub ketika mobil-mobil medan merek Ford seenak jidat berseliweran di depan muka.Glek.

Saya bersama rombongan teman-teman OJT yang lain plus para pembimbing naik bus dinas menuju Pendopo. It took three hour!Ketika memandang dari kaca bus, yang kulihat adalah pemandangan yang membuat saya banyak merenung. Sawit,jalan belum di aspal,rumah-rumah panggung yang kumuh, gedung sekolah tua yang Nampak tak terawatt. Inikah sumatera? Dimana jejak dana untuk pembangunan daerah-daerah seperti ini. Sangat paradox ketika kita di Jakarta, atau jogja sekalipun. Dan sangat paradox dengan kehidupan di kompleks pertamina. U know, rasa keadilan saya tersinggung.

Sawit-sawit dan karet berhektar-hektar tersebut mungkin milik perusahaan konglomerat yang mempunyai rumah di pondok indah atau simprug, tapi tak berbekas sedikit pun untuk kesejateraan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat sekitarnya mungkin hanya menjadi buruh kasar mereka saja.Oke, mungkin ini terkesan menyederhanakan masalah, tapi semua itu nyata terlihat di depan mata.

Sedih. Bagai tikus mati di lumbung padi. Masyarakat di sini seperti tidak berhak atas kekayaan alam di tanah mereka sendiri. Keterbatasan akses dan fasilitas. Mungkin untuk berobat atau sekedar ingin merasakan nuansa kota saja, mereka harus berjuang berjam-jam untuk mencapai setidaknya prabumulih. Palembang mungkin sudah begitu metropolitannya bagi mereka. Ya, hanya orang yang bermental baja dan jeli akan kesempatan saja yang akhirnya akan berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan.

Betapa tangguhnya orang-orang itu. Mereka berjuang untuk sekedar menuntut hak pendidikan mereka di antara keterbatasan yang ada. Hmm.. makanya, aku termasuk orang yang angkat topi untuk teman-teman dari daerah. Mungkin perjuangan mereka bisa dikatakan lebih berat, baik dari usaha,mental, dan dana. Salut.

Moga hal-hal seperti itu akan selalu mengingatkanku untuk bersyukur dan berpihak pada yang benar.Bismillah.