Welcome to The Jungle

lonely road

Ibarat terdampar,maka saya sekarang sedang terdampar di bumi antah berantah. Setelah 2 bulan kemarin berasa hidup di sangkar emas, sekarang berasa dibuang ke tanah afrika. Hidup kembali sederhana,tanpa hiruk pikuk manusia dan keribetannya. Ya, di sini, di Prabumulih. Mungkin, apabila saya diminta menjelaskan dimana letak geografis tempat itu,maka yang bisa saya jelaskan adalah sebuah kompleks pertamina di sumatera selatan,3 jam dari pusat kota Palembang.


Perlu sedikit off road untuk mencapai tempat ini,walau jalannya bisa dibilang cukup bagus. Tapi sepanjang perjalan there’s nothing to see, kecuali rawa,debu beterbangan di udara dan truk2 gede. Kering, Jendral! Begitu sampai di kawasan ini,sebenarnya tidak begitu sepi. Semacam kota kecil dengan kegiatan eknomi yang menggeliat. Jalan besar mulus dengan toko2 di kiri kanannya.mirip sekali dengan jalanan menuju semarang. Hmmm…itulah prabumulih. Saya pun masih ingin mengenalnya lebih dalam.

O ya, di sini, rumah2 penduduknya kebanyakan masih tradisional, kayak rumah panggung gitu,bahannya didominasi kayu. Ada yang standar saja bentuknya, tapi ada juga yang mewah bak bungalow. Pemandangan yang menyenangkan. Tapi itu hanya sebagian sumatera saja, tapi sumatera yang sesungguhnya menurut saya adalah pemandangan saat saya berkunjung ke Field pertamina di Pendopo.

Kemana…kemana..

Jalanan menuju pendopo lebih menantang. Sebagian besar belum beraspal dan sangat terjal. Di beberapa titik jalannya sempit,mungkin Cuma muat untuk satu kendaraan. O ya, bicara tentang kendaraan, terjawab sudah rasa penasaran saya,mengapa mobil-mobil di sini kebanyakan mobil off road,beroda besar, dan tampak tangguh. Rupanya memang medan jalannya menuntut mobil yang tahan banting, bukan city car yang imut warna-warni. Saat pertama kali kemari bahkan saya rada takjub ketika mobil-mobil medan merek Ford seenak jidat berseliweran di depan muka.Glek.

Saya bersama rombongan teman-teman OJT yang lain plus para pembimbing naik bus dinas menuju Pendopo. It took three hour!Ketika memandang dari kaca bus, yang kulihat adalah pemandangan yang membuat saya banyak merenung. Sawit,jalan belum di aspal,rumah-rumah panggung yang kumuh, gedung sekolah tua yang Nampak tak terawatt. Inikah sumatera? Dimana jejak dana untuk pembangunan daerah-daerah seperti ini. Sangat paradox ketika kita di Jakarta, atau jogja sekalipun. Dan sangat paradox dengan kehidupan di kompleks pertamina. U know, rasa keadilan saya tersinggung.

Sawit-sawit dan karet berhektar-hektar tersebut mungkin milik perusahaan konglomerat yang mempunyai rumah di pondok indah atau simprug, tapi tak berbekas sedikit pun untuk kesejateraan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat sekitarnya mungkin hanya menjadi buruh kasar mereka saja.Oke, mungkin ini terkesan menyederhanakan masalah, tapi semua itu nyata terlihat di depan mata.

Sedih. Bagai tikus mati di lumbung padi. Masyarakat di sini seperti tidak berhak atas kekayaan alam di tanah mereka sendiri. Keterbatasan akses dan fasilitas. Mungkin untuk berobat atau sekedar ingin merasakan nuansa kota saja, mereka harus berjuang berjam-jam untuk mencapai setidaknya prabumulih. Palembang mungkin sudah begitu metropolitannya bagi mereka. Ya, hanya orang yang bermental baja dan jeli akan kesempatan saja yang akhirnya akan berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan.

Betapa tangguhnya orang-orang itu. Mereka berjuang untuk sekedar menuntut hak pendidikan mereka di antara keterbatasan yang ada. Hmm.. makanya, aku termasuk orang yang angkat topi untuk teman-teman dari daerah. Mungkin perjuangan mereka bisa dikatakan lebih berat, baik dari usaha,mental, dan dana. Salut.

Moga hal-hal seperti itu akan selalu mengingatkanku untuk bersyukur dan berpihak pada yang benar.Bismillah.

Labels: edit post
0 Responses

Posting Komentar