SEBUAH RETORIKA TENTANG PEREMPUAN FANA


Angin musim panas mulai berhembus hangat.Aku bersuka cita bila musim itu datang, membuatku bersemangat untuk menyusun rencana. Ya, rencana. Berjuta ide gila muncul diotakku. Mulai dari berwisata hingga keinginan untuk melahap buku-buku yang dulu hanya kupinjam sana sini dan kugeletakkan begitu saja hingga berdebu.

Betapa hidup yang menyenangkan,mungkin dianggap utopi bagi sebagian orang yang memperbudak diri mrka sendiri hingga tak bisa menikmati hidup ini. Betapa tidak, bisa kulihat langit biru tak berawan khas musim panas. Juga jalanan berdebu dan rumah bambu. Disinilah aku sekarang. Perempuan sederhana dengan caranya sendiri mencoba untuk menghargai tiap hirupan nafasnya.

….

Melangkah gontai seorang perempuan fana. Ia mulai merasa hanya barang second dan yang pasti, ia mulai jengah dengan segala macam lelucon sandiwara kehidupan. Permpuan itu tertawa kecil, geli. “Hanya beginikah akhirnya?” gumamya. Burung bangkai terbang rendah dan mulai mengincar mayat-mayat yang bertebar di sekitar si perempuan fana. Dengan sesekali dia memicingkan matanya ke arah raga kosong.

Kemarin, lelaki pertama dan terakhirnya pergi. Sebenarnya bukan itu hal utama yang menjadikan si perempuan fana bagai raga tak bernyawa. Tetapi itu hanya bagian dari lelucon yang seharian ini ditertawakannya. Ya, memang hubungan kita tidak baik. Hanya sebuah basa basi. Dan seharusnya memang berakhir begitu pula. Aku paham. Sangat paham.

Kemudian hari, keseharian si perempuan fana. Pikirannya sedang tidak fokus dan memang tidak ingin fokus. Manusia-manusia disekitarnya mencoba menintervensi dirinya. Mengeluarkan petisi-petisi keberatan akan eksistensi si perempuan fana. Hanya bisa menuntut. Perempuan fana terima.

Sudah seharian ini perempuan fana memberesi buku-buku yang berserak dan berdebu di kamarnya. Ada makalah-makalah tak berbobot, bacaan terlalu ringan, buku kuliah, dan dua buah jurnal. Diambilnya dua jurnal itu cepat-cepat, seakan memory otak ini sudah ingin dipulihkan dari amnesia. Ternyata bukan jurnal melainkan buku harian. Si perempuan fana tersenyum samar. Sebuah buku harian dari buku tulis biasa, tidak terbuat dari kertas mahal, tidak wangi, hanya sebuah buku tulis biasa yang mulai lusuh termakan waktu. Sekali lagi perempuan tersenyum samar, “sangat anak-anak dan jujur” batinnya.

Buku harian yang satu lagi pun tak jauh beda. Semua ditulis dengan rapi, ditulis dengan pena tinta hitam,biru atau merah. Apa yang ketika itu terpikirkan? Dunia telah berubah. Dahulu, perempuan fana dan pria pertama dan terakhirnya seakan memang telah ditakdirkan bersama. Dari love at the first sight hingga pertemuan kedua yang tak terduga.. Perempuan fana bahagia. Tak terpikirkan lagi ibu tiri kejam tak berperi, yang diyakininya hanyalah kisah yang bakal akan bisa jadi happily ever after antara dirinya dan pria pertama dan terakhirnya. Itu dahulu dan kini semua absurd.

Desember datang cepat saja. Lima hari lagi tahun depan. Hari-hari ini banyak orang bermain opera sabun. Mereka menangis, tertawa, dan berklimaks dengan perseteruan. Hanya manusia yang mengerti, lalu apa perempuan fana mengerti? Tidakkah dia juga berpijak di bumi dan pernah mngalaminya? Ya. Tetapi semua seakan hiperbolis, mencari sensasi belaka. Semua akan seperti roda, berputar kembali. Kembali menagis,tertawa, dan berklimaks prseteruan di tahun depan. perempuan fana beringsut meninggalkan perenungannya, naik panggung opera, turut bersama mereka. Tak kuasa.

….

”Fragile, hidupmu adalah kehidupanmu, hanya kau yang dapat menjalaninya.” kata seorang sahabat tempo hari.

Perempuan fana yang disebutnya fragile ini muak mendengar ceramah yang menggurui. Pun di buku-buku pembangun jiwa best seller yang sudah sering ia baca. Semua retoris dan sebatas wacana. Tidak ada yang memahaminya dan makin lama perempuan fana makin tak ambil pusing dengan orang-orang yang bawel itu. Tiap orang punya alam pikirnya sendiri, sebuah otoritas yang tidak bisa diganggu gugat!

Hujan mengiringi datangya bulan desember, musim panas yang indah berganti dengan udara dingin dan tanah basah. Perempuan tidak suka musim hujan. Tak tersentuh juga hatinya pada romantisme tetes-tetes hujan yang menyejukkan bumi. ”Ini bencana” pikirnya. Hujan adalah air mata. Pertanda datangnya air bah, longsor dan segala macam musibah bagi negerinya tercinta. Tak terbersit pun di pikirannya, kala hujan ia akan mengingat kekasih hati, menunggunya di bawah hujan hingga ia datang, seperti yang dilihatnya di bioskop tempo hari.

….

Malam-malam sepanjang perjalanan pulang. Perempuan fana melesakkan diri makin dalam di tempat duduknya. Ketakutan dan jauh dari tempat yang kini ia sebut rumah. Hidup adalah perjalanan dan pencarian rumah itu. Pencarian sejati akan kebenaran adanya. Akan sampai kapan?

Bus membawanya makin dekat menuju rumah. Perempuan fana lega.

Sejauh apapun kau berlari,berusaha melepaskan jati diri dan identitas berterima umum. Kau akan kembali. Pada rumah dan kenyamanan yang telah kau buat sebelumnya. Perempuan fana tak sabar menanti kembalinya musim panas yang dicintainya.

..

Perempuan fana tidaklah lemah dan cengeng. Perempuan fana hanyalah musim panas dan langit biru yang dia cintai. Kadang tertutup mendung atau pun berganti musim hujan di pertengahan. Tetapi ia akan kembali. Itu pasti.

FIN

0 Responses

Posting Komentar